Sukses & Arogansi

Rabu, 13 Juli 2011

Seorang CEO dari perusahaan Fortune 100 mengatakan, "Success can
lead to arrogance. When we are arrogant, we quit listening. When we
quit listening, we stop changing. In today's rapidly moving world,
if we quit changing, we will ultimately fail." (Sukses bisa membuat
kita jadi arogan. Saat kita arogan, kita berhenti mendengarkan.
Ketika kita berhenti mendengarkan, kita berhenti berubah. Dan di
dunia yang terus berubah dengan begitu cepatnya seperti sekarang,
kalau kita berhenti berubah, maka kita akan gagal).

Pembaca, itulah sisi negatif dari kesuksesan, yakni arogansi.
Arogansi muncul saat seseorang merasa diri paling hebat, paling luar
biasa, dan paling baik dibandingkan dengan yang lainnya. Penyakit
mental ini bisa menjangkiti apa dan siapa saja, mulai dari
organisasi, produk, pemimpin, sampai orang biasa. Khusus pada
tulisan ini, kita akan membicarakan soal manusianya.

Orang sukses lalu bersombong ria sebenarnya patut disayangkan.
Bayangkan saja, saat berjuang keras menggapai kesuksesan, mereka
begitu terbuka untuk belajar. Mereka mau mendengarkan. Mereka mau
berjerih payah, berani hidup susah, dan mengorbankan diri. Bahkan,
mereka tampak sangat 'merakyat' hidupnya. Akan tetapi, itu dulu.
Sayang sekali, saat kesuksesan datang, mereka lupa diri. Mungkin dia
akan berkata, "Saya sudah berhasil mencapai yang terbaik. Sekarang,
Andalah yang harus mendengarkan saya. Saya tidak perlu lagi
mendengarkan Anda."
Hal itu diperparah lagi ketika mereka dikelilingi oleh para 'yes
man' yang tidak berani angkat bicara soal kekurangan orang ini. Hal
ini membuat orang itu semakin 'megalomania' , pongah, angkuh, dan
egois. Ia terbelenggu oleh kesuksesannya sendiri. Ia tidak pernah
belajar lagi.

Saya teringat dengan seorang klien saya. Sebagai seorang pebisnis,
dia menceritakan susah payahnya membangun bisnisnya. Cerita yang
mengharukan sekaligus heroik ketika dia harus tidur di kolong
jembatan saat tiba di Jakarta ketika remaja. Dengan susah payah dia
merangkak dari bawah untuk bertahan hidup. Menikah tanpa uang
sepeser pun. Hidup di rumah kontrakan kecil. Akan tetapi, dia tidak
patah arang. Dia mengamati cara kerja orang sukses, mencontoh, dan
memodifikasi sendiri produknya. Sekarang, dia pun berjaya. Tiga
pabrik besar ada di genggamannya.

Namun, sayang sekali. Perusahan itu sedang diterpa badai masalah
internal. Pemicunya tak lain adalah sikap pemimpin yang arogan. Dia
otoriter dan antikritik. "Kalau saya bisa, kalian juga harus bisa,"
katanya pongah. Dia pun menolak ide-ide baru. Dia mengelola
perusahaan dengan serampangan. Turn over karyawan pun tinggi.
Sisanya hanya kelompok para 'penjilat' yang tidak berani melawan.
Dia menginginkan anak buahnya di-training. Padahal, dia sendiri yang
perlu up date diri dengan training.

Arogansi bisa menghampiri siapa saja. Termasuk seorang pendidik,
guru, dosen, yang tiap hari memberi suatu bagi orang lain. Saat
menjalani kursus panjang di Inggris, saya pernah mendengar kisah
tentang seorang trainer yang begitu arogan. Dia sempat membuat
banyak orang berdecak kagum. Buku-buku best seller pun lahir di
tangannya. Akan tetapi, arogansi membuatnya 'dibuang' dari komunitas
di negaranya. Celakanya, sang trainer menyalahkan para rekannya. Dia
pun dikelilingi oleh mereka yang selalu berkata 'ya' padanya.

Dari situ, kita belajar banyak untuk hati-hati. Kesuksesan jangan
membuat kita arogan dan cenderung self centered serta tidak mau
mendengarkan orang lain. Dunia begitu mengenal sosok Mao, Hitler,
ataupun Stalin. Mereka berjuang dari basis bawah menuju pucuk
kepemimpinan. Mereka pun berjuang untuk perubahan di masyarakatnya.
Idealisme mereka sangat luar biasa. Orang pun dibuatnya kagum.
Namun, mereka lupa daratan ketika sukses. Mereka memonopoli
kebenaran tunggal alias antikritik dan antipembaruan. Mereka
memimpin dengan tangan besi. Korban pun bergelimpangan dari
tangannya. Begitu juga dalam sejarah bisnis. IBM yang begitu besar
dan terkenal pernah mengalami kemerosotan saat arogansi membekap
sikap dan pikiran para pemimpin mereka.

Terjebak retorika

Namun, itulah yang terjadi apabila orang berhenti belajar dan merasa
diri sudah selesai. Tanpa dia sadari, lingkungannya terus belajar,
berinovasi, dan berkembang. Sementara, dia mandek di posisinya.
Akibatnya, kue kesuksesan yang dia peroleh lama-kelamaan menjadi
basi. Tanpa sadar, kompetitor mereka bergerak jauh meninggalkan
dirinya di belakang. Mereka terjebak dalam retorika, kalimat, jurus
yang itu-itu saja alias usang. Arogansi telah menutup hati dan
pikirannya untuk kreatif menemukan jurus dan tip-tip baru
mempertahankan sekaligus mengembangkan kesuksesannya. Di sinilah,
arogansi berujung pada malapetaka dan kehancuran.

Jadi, bagaimanakah tipnya agar kesuksesan kita tidak berubah menjadi
arogansi? Saya menyebut tip ini dengan kata AWAS! Pertama, Aware
(sadar) dengan sikap dan tingkah laku kita selalu. Meskipun sudah
sukses, kita perlu memberi waktu untuk menyadari sikap dan perilaku
kita di mata orang lain. Selalulah sadar apakah nada dan ucapan
serta tindak tanduk kita sekarang semakin membuat banyak orang lain
terluka? Apakah kita masih tetap menghargai orang lain? Apalagi
orang-orang yang telah turut membawa Anda ke level sukses sekarang,
apakah Anda hargai? Jangan sampai, tatkala masih bersusah payah,
kita begitu respek, tetapi setelah sukses justru mencampakkan
mereka.

Kedua, Waspadai umpan balik yang hanya menghibur kita tetapi tidak
membuat kita belajar lagi. Hati-hati dengan orang di sekeliling kita
yang hanya mengatakan hal bagus, tetapi tidak berani memberikan
masukan yang baik. Kadang, masukan negatif juga kita perlukan demi
perkembangan, sesukses apa pun kita.

Ketiga, Awasi dan peka dengan perubahan yang terjadi. Dalam buku Who
Moved My Cheese disimpulkan bahwa kita harus selalu mencium keju
kita, apakah sudah basi ataukah mulai diambil orang lain. Kita pun
harus terus mencium dan peka bagaimana orang lain mengembangkan
dirinya serta bisa jadi ancaman bagi kita. Jangan pula merasa diri
paling hebat dan lupa belajar.

Keempat, Sopan dan rendah hati untuk belajar dari orang lain. Ada
banyak artis yang ketika belum terkenal sikapnya ramah dan baik.
Namun, setelah sukses, ia menjadi sangat sombong, angkuh, ketus, dan
bersikap antisosial.

Nah pembaca, semoga tulisan ini menginspirasi Anda untuk meraih
sukses sejati. Kesuksesan yang membuat Anda tidak arogan. Baiknya
kita tutup tulisan ini dengan kalimat kuno yang seringkali sudah
kita dengar. Saya hanya mengingatkan kita sekali lagi, "Di atas
langit masih ada langit yang lain".

0 komentar:

Posting Komentar